004

04 Januari 2020

Hi!
Fourth day.

00.00
Dalam perjalanan pulang, anak sulungku tertidur. Sangat pulas. Lelah, sehari ini hanya tidur siang 2 jam, lalu bermain hingga tengah malam. Aktif sekali dia, hingga banyak dari keluarga besarku yang menganggap dia seperti anak yang tak pernah kehilangan semangat hidup, tak pernah lelah untuk mengeksplorasi sesuatu yang baru. Akupun beranggapan sama seperti itu, tetapi jujur saja, kadang lelah menghadapi anak yang seperti itu. Apalagi ketika kutinggal untuk mengais rejeki, otomatis istri di rumah sendiri, kadang hanya ditemani oleh ibunya, yang juga mertuaku hahaha. Seringkali mereka berpikir bahwa anak sulungku ini terlampau aktif, hingga bisa disebut nakal. Aku ga bisa berbuat banyak, di satu sisi kadang aku tidak bisa menerima argumentasi seperti itu, tetapi di sisi yang lain aku tetaplah makhluk sosial yang membutuhkan mereka untuk membantu keluarga kecilku ini tetap bergerak dengan 1 bayi dan 1 batita, dimana mereka pun juga sudah kuanggap bagian dari keluargaku sendiri.

Kapasitas baterai di gawai yang sedang kugunakan ini masih lebih dari setengah. Lebih dari kata mencukupi kalau hanya untuk scrolling Twitter sembari menonton YouTube via split screen, pikirku. Teringat aku tentang tulisan tanggal 2 dan 3 yang belum sempat kujamah, menunggu untuk segera disentuh. Ditemani high lonesome music rekomendasi dari YouTube, dan beberapa batang rokok yang semakin tahun semakin mahal, mulailah aku meracik kata-kata yang pas, sembari mengingat-ingat apa yang telah aku lakukan di dua hari kemarin itu.

Seperempat jam menjelang adzan subuh, narasi harian untuk tanggal 3 siap untuk diunggah. Malah, naskah untuk tanggal 2 masih belum tersentuh sama sekali hahaha, entah kapan bisa kuselesaikan. Selesai absen, sudah tiada daya untuk meneruskan tulisanku yang terselip itu. Sembari rebahan untuk merefleksikan otot-otot tubuh yang sedari tadi tegang, jari-jemari ini bekerja memainkan gawai untuk sekedar scrolling Twitter. Ya, kalau kalian mengikuti tulisanku dari awal, Twitter bisa dikatakan menjadi bagian dari kehidupanku, meskipun tak pernah membuat cuitan, utas, mengeluarkan komentar di tiap cuitan orang-orang, atau sekedar quoting twit seseorang yang sedang naik daun saat itu. Aku lebih memilih retweet cuitan yang sedang lewat di linimasa, yang menurutku menarik, atau hanya menekan tombol like untuk cuitan yang menurutku lucu, sesekali membuat markah untuk cuitan yang menurutku berguna, entah saat ini, ataukah di masa yang akan datang.

Kembali teringat pesan darimu yang belum sempat kubalas, kusempatkan barang sebentar untuk menulis sepatah dua kata, tak berharap langsung terbalas saat itu juga. Ternyata, tak lama kemudian engkau membalas pesanku. Entah engkau terjaga, ataukah baru saja terbangun dari tidurmu. Tak elok juga bertanya perihal itu, menurutku. Cukup bersemangat aku untuk membalasnya, meskipun ada beberapa saat terjeda, dimana aku harus mengantarkan ibuku ke pasar untuk membeli beberapa hal perdapuran, untuk disajikan di meja makan pagi itu. Tak banyak yang bisa dibahas pagi itu, selain pesan konyolku yang kau mentahkan, terbalas tulisan dingin yang mengejekku, kilas balik kenapa dan siapa yang mengakhiri hubungan ini, dan berakhir dengan pesan berisi tertawaan, yang secara eksplisit ditujukan kepadaku. Tak kubalas pesan itu, daripada membikin hati yang sudah retak ini menjadi hancur, kira-kira begitu nuraniku berteriak.

Tak ingin tenggelam lebih dalam untuk kesekian kalinya, kubiarkan saja pesan terakhir darimu itu, lebih baik aku tidur, toh sampai saat ini aku belum tidur. Kulihat jam tangan yang mengalungi pergelangan tangan kiriku, jarum pendeknya sudah mengarah tepat di angka 7, sudah saatnya melepas semua beban yang ada, meskipun hanya sementara. 2 jam kemudian aku bangun, bergegas membersihkan diri, bersiap untuk pulang ke tanah perantauan. Perjalanan yang memakan waktu 2 jam itu terasa cepat, meskipun beberapa kali sempat berhenti sekedar untuk berganti pengemudi atau mampir ke toilet terdekat.

Tepat saat adzan Dzuhur berkumandang, sampailah aku beserta anak dan orangtuaku di rumahku. Bukan, ini bukan rumahku. Ini rumah istriku, yang diberikan oleh orangtuanya. Apalah aku, hanya pendatang, yang secara kebetulan menikahi seseorang yang saat ini menjadi istriku sekarang. Gaijin, begitu orang Jepang menyebutnya. Disitu, kami disambut oleh kakak iparku beserta anak istrinya, yang secara kebetulan pulang dari perantauan, yang entah pulang berapa lama di tanah kelahirannya ini. Selesai berbasa-basi dengan mereka, berangkatlah aku dan ayah ke mal yang berjarak tak jauh dari rumah. Sekitar 5 kilometer, atau 10 menit perjalanan dari rumah menggunakan motor.

Disana, aku ingin membelikan kacamata untuk orangtuaku, yang kemarin baru saja patah. Kacamata yang menunjang pekerjaannya, di kala senja, untuk mengarungi jalanan, tak peduli siang maupun petang. Hampir semua gerai kacamata disana menawarkan diskon, dari mulai beli satu gratis satu, paket frame dan lensa, sampai dengan diskon gila-gilaan yang cukup ga masuk akal untuk pembelian semua merk frame. Setelah beberapa kali keluar masuk toko, mampirlah kami ke toko yang ga seberapa besar, tapi cukup menarik. Mereka menempelkan tulisan yang cukup besar di dinding tokonya, bertuliskan "Satu jam selesai". Ayahku, yang hanya mempunyai sedikit waktu di kota ini, cukup tertarik dengan promosi seperti itu. Pramuniaga menghampiri, memandu kami untuk memilih frame kacamata yang tepat. Aku iseng-iseng mencoba frame dipajang di ujung etalase, ternyata nyaman. Tak seperti kacamataku yang lainnya, kali ini mencoba untuk berbeda. Full frame, thick rims, magnesium alloy, dingin rasanya pas nyentuh muka. Cocok atau enggak pas nempel di muka, urusan belakang. Yang penting nyaman dulu, pikirku. Toh aku pengen nyobain kacamata dengan frame yang beda dari biasanya. Tak lama kemudian, sepasang kacamata masuk ke keranjang belanja, satu milikku, sisanya untuk ayahku.

Setelah selesai urusan perkacamataan, kami berdua pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, sembari bermain dengan anak sulungku, orangtua beserta adikku mempersiapkan diri untuk segera kembali pulang, menuju kota kelahiranku. Aku bermain bersama anak sulungku, mengalihkan perhatiannya dari kakek dan neneknya. Tak lama setelah kepergian orangtuaku, aku tertidur, mengisi kembali energi yang terkuras seharian ini, untuk persiapan bekerja nanti malam. Dua jam berlalu, aku bersiap untuk berangkat kerja, menyambut hari pertama bekerja setelah pulang dari kampung halaman.

Di kantor, tak ada pekerjaan yang cukup berarti. Hanya pengecekan perangkat yang dilakukan rutin setiap hari. Sisanya, scrolling linimasa di Twitter dan menyetel YouTube, sembari menyelesaikan tulisan untuk tanggal 2, yang sejak dari tadi pagi belum tersentuh sama sekali.

Komentar