Second Shot.
Hi!
Setelah pergulatan hati dan jari yang cukup panjang, akhirnya aku post notes ini.
Setelah pergulatan hati dan jari yang cukup panjang, akhirnya aku post notes ini.
Sejak saat itu, aku berjanji untuk ga menghubunginya lagi. Tapi aku gagal, kalah dengan hati yang selalu menanyakan keadaannya. Hanya butuh beberapa menit setelah deklarasi perjanjian antara hati dengan pikiran, tanganku pun langsung mengambil telepon seluler yang berada sepelemparan batu, dan voila, "Hi!" pun terkirim ke seberang sana. Butuh waktu beberapa saat untuk menunggu balasan darinya, sambil tetap berprasangka baik bahwa chat ini akan dibalas, meskipun status nya sedang online. Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, dan kita berbalas pesan, yang meskipun terlihat canggung, tetapi menurutku cukup menghibur. Waktu berjalan, dan tiba saatnya untuk menghapus satu persatu pesan darimu. Sengaja selalu kusisakan beberapa, untuk pengingat diriku yang pernah singgah di hatimu.
Beberapa hari kemudian, ada beberapa hal yang mengganjal. Ketika tahu kamu bisa membuat ilustrasi, pernah kutanyakan, bisakah dirimu mebuat ilustrasiku? Jawaban yang keluar dari chat yang kubaca memberikan tanda bahwa ada penolakan yang cukup halus. Ku menangkap hal itu, tak ingin untuk menanyakan lagi. Tapi, hanya hal ini yang bisa membuka percakapan antara kita. Sudah tak ada lagi topik lain yang bisa kubahas. Chat kumulai, to the point kutanyakan hal itu. Ternyata balasan dengan emoticonmu membuatku tertawa. Kamu meminta RAW file nya, hahaha. Ya, memang belum kukirimkan foto aslinya, karena responmu saat itu menyiratkan tak ingin mengerjakan apapun tentang diriku, even as business reason. Basa basi, as usual, dan kukirimkanlah foto keluarga kecilku. Aku tahu, hal ini ga akan membuatmu goyah, toh kamu udah punya lelaki yang udah bersiap-siap untuk menggantikan bapak, yang bias bertanggungjawab sepenuhnya atas dirimu. Foto itu hanya untuk selingan aja sih sebenernya, yang bener-bener mau aku kirimkan kepadamu bukan itu. Foto kita berdua, dulu. Itu yang ingin kulukiskan kepadamu. Hal yang bisa mengenang masa lalu, masa disaat kita masih bersama.
Tapi, ya cukuplah pengalaman masa lalu menjadi guru yang terbaik bagi kita. Guru yang mengajarkan kita betapa keras kehidupan dan percintaan antar lawan jenis. Guru yang memberikan kita pelajaran betapa berharganya sesuatu ketika telah kehilangan. Dan guru yang memberikan kita pijakan untuk melangkah jauh lebih baik dari apa yang telah kita capai di hari ini.
Beberapa chat berlalu, akupun tak se intens biasanya. Tumpul, tanpa penetrasi yang membabibuta. Entah kenapa, setelah meet up terakhir itu aku ngerasa kamu udah menemukan jalanmu, dan semakin menjauh. Tapi aku sadar, bahwa itulah kehidupan, yang harus terus berjalan, dimana ada saatnya diatas, dan terkadang bisa dibawah. Bahkan bisa jika ingin terjerumus ke dalam jurang yang tak berujung. Hahaha. Tapi susah rasanya melepas dirimu seutuhnya, karena luka yang kugoreskan kepadamu takkan pernah bisa disembuhkan oleh apapun. Aku meminta maaf atas hal itu.
Chat ini menjadi tak berujung ketika kamu udah membalas pesanku dengan cukup singkat, yang memberi isyarat kepadaku bahwa, aku akan menghubungimu ketika semuanya usai. Akupun tak membalas pesanmu, entah apa isi pesannya jika kupaksakan untuk membalas pesanmu. Aku menunggu, hingga malam pun tiba. Ku terlelap, ditelan keheningan malam.
Selamat malam, kamu, yang telah menemukan jalanmu.
Komentar
Posting Komentar